cerita mbun

Pertama Kali Bertemu Aqlan


Ketika hamil aku sering bertanya-tanya seperti apakah wajah anakku nanti. Apakah dia lebih mirip dengan wajahku atau suamiku. Bagaimana bentuk matanya, hidungnya, bibirnya, telinganya, postur tubuhnya. Kadang aku membagikan imajinasi dengan suamiku dan dia dengan bangga menjawab "ya seperti akulah wajahnya, pokoknya semua seperti aku". Aku hanya tersenyum tipis mendengar jawabannya. Bagaimanapun wajahnya nanti, aku akan tetap menyayanginya, aku akan tetap bangga padanya.

Ini hamil pertamaku. Hamil setelah 16 bulan pernikahanku. Cukup lama memang dan cukup membuat aku dan suami mendengar banyak pertanyaan, kritik dan saran dari orang lain mengapa kami sudah menikah satu tahun tapi juga belum memiliki momongan. Teman-teman kami yang menikah setelah kami, bahkan sudah memiliki momongan yang lucu. Awalnya pertanyaan itu terdengar biasa saja ditelingaku, tapi lama-lama cukup membuatku resah. Ketika pada suatu hari aku sedang berbelanja disebuah toko, seseorang menyarankan padaku untuk membersihkan rahimku didepan banyak orang, karena takut kenapa-kenapa katanya. Disitu aku langsung tertegun dan mencoba menahan air mataku untuk tidak jatuh didepan banyak orang. Aku kembali ke rumah dan menceritakan semua yang terjadi pada suamiku.

Memangnya apa yang salah dengan rahimku? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang salah denganku dan haidku lancar saja. Sampai suatu hari aku mengalami ketidaklancaran haid, aku check up ke dokter kandungan dan Alhamdulillah tidak ada yang salah, tidak harus dibersihkan seperti yang orang tersebut katakan padaku. Perihal mempunyai keturunan, aku dan suami tidak begitu ambil pusing, kami menikmati pernikahan kami meski hanya berdua, tapi kami selalu mencoba untuk memantaskan diri  menjadi orang tua. Agar ketika Allah amanahkan, kami sudah siap menjadi orang tua, meski belajar itu selalu perlu. Kami juga tidak mau nntinya menjadi orang tua yang dzalim. Kami berfikir positif, mungkin Allah belum mengamanahi kami keturunan karena kami belum pantas untuk menjaganya atau Allah ingin memberikan kami kesempatan untuk memperbaiki diri dan melakukan hal-hal positif yang lainnya. Satu yang kami yakini, Allah Maha Baik.

Kami saling menguatkan, sehingga kami bisa melalui fase itu dengan baik. Kami mengikhlaskan apapun yang terjadi sambil fokus melakukan hal-hal positif. Aku tidak lagi peduli dengan komentar orang lain. Tapi, dalam hati kecilku tiba-tiba terbesit keinginan memiliki buah hati. Aku meyakinkan dalam hati apakah benar sudah ada keinginan atau hanya karena omongan orang saja. Diam-diam aku meminta kepada Allah untuk memiliki keturunan. Disepertiga malam ku panjatkan doa-doa itu. Dan Qadarullah pada bulan Ramadhan 2019, Allah menitipkannya didalam rahimku. Disaat kami ikhlas, Allah beri lebih. Aku mengetahuinya ketika akan bersiap melaksanakan Idul Fitri. Sebelum membersihkan diri, aku mencoba sebuah test pack. Dan hasilnya menunjukkan sebuah garis berjumlah dua. Sebuah kemenangan pada keluarga kami. Betapa bahagianya aku saat itu.

Aku tidak menyangka mendapatkan karunia sebesar ini. Kami sungguh terharu. Tapi tentu saja menjalani kehamilan ini tidak mudah. Kondisi kehamilanku yang lemas dan mual membuatku tidak banyak melakukan aktivitas. Aku lebih banyak berbaring di tempat tidur. Juga berdoa agar Allah selalu memberiku kesabaran dan kekuatan untuk janinku. Trimester pertama, dokter menyarankanku agar banyak istirahat karena kondisi badanku yang lemas.  Lanjut trimester kedua, mulai ada perubahan dengan kondisiku yang lemas menjadi semakin membaik. Aku tidak lagi mual melihat dan mencium bau nasi. Aku sudah mulai memakan makanan yang aku suka, keadaan sudah normal kembali. Dan perutku pun mulai terlihat. Pada fase inilah janin mulai aktif menendangku. Menunjukkan kepadaku bahwa dia "benar-benar ada". Tendangan pertama membuatku menangis, betapa haru dan bahagianya aku bisa merasakan ini. Aku mencoba berkomunikasi dengan mengajaknya bicara. Tibalah dipenghujung trimester, aku mulai merasakan banyak keluhan. Mulai dari tangan kesemutan, cepat lelah, kontraksi palsu sampai kaki bengkak. Ketiga trimester tersebut akhirnya bisa dilalui dengan baik. Meski tidak mudah, rasa sakit menjelang persalinan dikalahkan dengan rasa bahagia dan syukur sudah diberikan kepercayaan sebesar ini. Aku dan suami sudah tidak sabar menyambut sang buah hati, yang dokter perkirakan berjenis kelamin laki-laki ini.

Pada minggu malam menjelang persalinan, sakit di pinggang terasa semakin kuat. Aku bertanya-tanya apakah ini saatnya aku melahirkan, atau persalinanku sudah semakin dekat. Esok paginya suami menemaniku ke bidan untuk kontrol kehamilanku. Saat itu bidan mengatakan sudah pembukaan satu. Kepala bayi sudah dibawah, aku hanya tinggal menunggu pembukaan-pembukaan selanjutnya dan akan merasakan kontraksi yang semakin kuat. Tak lupa bidan berpesan agar aku semakin rajin berjalan kaki untuk merangsang bayi agar mudah meluncur. Setiap hari aku berjalan pagi, baik pagi maupun sore, baik didalam maupun diluar rumah. Juga melakukan senam yang memudahkan persalinan nanti. Kontraksi semakin kuat, sehingga aku sudah tidak nyaman lagi berbaring, duduk atau melakukan aktivitas lain. Karena tidak ada tanda lain selain rasa sakit, aku hanya bisa menunggu dirumah, sampai saatnya selasa malam setelah melaksanakan shalat isya, keluar darah pada vaginaku. Aku memberitahu suamiku yang saat itu sedang membuat laporan. Suamiku mengatakan bahwa aku jangan panik, tapi ketahuilah aku sungguh sama sekali tidak panik, justru inilah momen yang aku tunggu agar aku bisa segera pergi ke bidan untuk melahirkan. Justru yang terlihat panik itu suamiku. Lucu sekali kalau ingat wajahnya saat itu.

Suamiku langsung menghubungi bu bidan yang menanganiku, tapi saat itu kebetulan bidan telah melakukan tes swab, jadi tidak bisa menangani pasien karena hasilnya belum keluar. Karena beliau khawatir hasilnya positif dan dapat mempengaruhi persalinanku. Kami pun pergi ke puskesmas. Bidan memeriksaku dan pembukaan naik menjadi pembukaan dua. Jam berlalu, tapi pembukaanku tak kunjung naik dengan cepat, sedangkan kontraksiku semakin lama semakin kuat. Akhirnya bidan memeriksa pembukaanku setiap empat jam sekali. Malam telah aku lewati, dengan tidak tidur. Bagaimana aku bisa tidur, sementara aku sedang menahan kontraksi yang begitu sakit. Siangnya dokter mengobservasiku. Semua sehat, tidak ada yang salah. Aku hanya tinggal menunggu pembukaan lengkap. Jam terasa lama berputar, rasa sakit semakin menjadi. Suamiku dengan sabar terus mengajakku bercanda agar aku sedikit melupakan rasa sakit dan tetap semangat. Dia menemaniku berjalan kaki dan membantuku melakukan gerakan untuk mempercepat pembukaan. Malam tiba, pembukaan akhirnya sempurna dan ketuban pun pecah. Pakaian bayi sudah disiapkan dan proses melahirkan pun dimulai. Tapi, kepala bayi tidak juga masuk ke jalur pembukaan. Dan hasil mengejanku tidak juga membuat kepala bayi meluncur. Bidan mengatakan akan bertanya pada dokter terkait kondisiku seperti ini. Selesai berdiskusi, bidan memutuskan aku harus dirujuk ke rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut.

Rumah sakit terdekat tidak bisa digunakan untuk persalinan karena dokter sedang tidak ada dan rumah sakit yang lain sedang digunakan untuk pasien covid-19. Rumah sakit yang tersedia untuk persalinan cukup jauh dari rumah kami. Kami pun bersiap pergi ke rumah sakit tersebut menggunakan ambulance. Sebelum pergi, aku dites rapid terlebih dahulu dan kembali dicek kondisi kesehatannya. Infusan dipasangkan ditangan kiriku dan kateter untuk memudahkanku buang air kecil. Pertama kali pakai kateter dan naik ambulance. Sepanjang perjalanan terasa lama dan menegangkan. Semua diam membisu. Sesampainya di rumah sakit aku langsung dilarikan ke ruang UGD, dites rapid lagi dan diperiksa kembali kondisi kesehatannya.

Tiba-tiba aku harus tanda tangan sebuah berkas. Aku.pikir terkait administrasi ternyata itu keterangan menyetujui kalau aku harus operasi caesar. Aku ikhlas, yang terpenting saat ini adalah yang terbaik untukku dan anakku. Berdoa semoga Allah mudahkan dan berikan aku kesempatan untuk menjaga anakku nanti.

Waktu berputar begitu cepat. Perawat dengan gesitnya membawaku ke ruangan operasi. Aku hanya bisa pasrah, lillahi ta'ala apapun yang terjadi itu sudah pasti yang terbaik. Aku berusaha tetap tenamg dan selalu menjaga afirmasi positifku. Menjelang persalinan, selain menyiapkan keperluan bayi, aku juga menyiapkan mentalku untuk melahirkan normal dan berjaga jika aku harus melahirkan dengan cara operasi caesar. Karena melahirkan adalah proses yang paling beresiko, kita sudah berusaha yang terbaik dengan menjaga kehamilan, tapi kita tidak pernah tau apa yang terjadi nanti.

Diruang operasi, dokter kembali mencoba proses melahirkan dengan normal. Tapi tetap tidak bisa dan akhirnya dokter benar-benar memutuskan untuk operasi caesar. Saat dimulai proses operasi, tak hentinya aku melantunkan dzikir kepada-Nya memohon dimudahkan proses operasi. Ternyata tidak semenegangkan yang aku pikirkan, didalam ruangan diciptakan suasana yang menyenangkan dengan diputarnya lagu-lagu pop serta suara dokter dan perawat layaknya seperti sedang mengobrol biasa. Itu cukup membantuku menambah energi positifku untuk tidak takut menjalani operasi.

Pukul 02.25, tangisan itu menggelegar diruangan. Tangisan bayi yang paling kencang ketika lahir di hari Kamis saat itu. Tangisan yang membuatku haru ingin menangis ketika muka bayi lucu itu diperlihatkan kepadaku. Ingin memeluknya saat itu juga, tapi bayi langsung dibawa keluar ruangan untuk dipindahkan ke ruangan bayi. Yang sebelumnya ketika keluar dari ruangan operasi, diperlihatkan kepada suamiku untuk diadzankan. Alhamdulillah, proses operasi berjalan dengan lancar. Dan aku langsung dibawa ke ruangan sementara, menunggu ruang rawat inap kosong. 

Tiba-tiba suamiku datang, langsung memelukku dan menciumku. Tak hentinya dia mengatakan maaf dan terima kasih sudah berjuang demi anak kami. Dia selalu bilang kalau bisa sakit yang aku rasakan dipindahkan saja ke dia, agar dia yang rasakan sakitnya. Ahh, suamiku! Selalu saja dia membuat aku tertawa dengan tingkah lucunya. Beruntung, suamiku selalu ada disisiku. Memberikan waktunya untuk menjagaku, menghiburku juga mengingatkanku tentang mimpi-mimpi kami. Mimpi kami bersama anak kami.

Selama satu minggu itu lah, moment yang membuat aku merasa paling bahagia dan terharu. Bahkan tulisan ini pun masih belum cukup mengungkapkan betapa bahagianya aku. Membuatku berpikir bahwa memiliki keturunan tidak semudah hanya keinginan dan meminta. Tapi lebih dari itu, banyak pihak yang dilibatkan dan direpotkan. Aku bersyukur, selama proses ini ditemani keluargaku dan keluarga suami. Keluarga besar kami. Semoga kami bisa menjadi orang tua yang baik bagi bayi laki-laki yang kami beri nama Alqan Harith Ilaanbadruddin. Dan harapan kami sesuai namanya menjadi laki-laki yang cerdas, bijaksana, hadiah dari Allah menjadi bulan purnama agama.

***

Tulisan ini dibuat untuk aku mengenang kembali momen indah itu. Kelak jika Aqlan membaca ini, aku berharap bahwa dia bisa menghargai perempuan, terlebih perempuan yang sudah melahirkannya. Dan merasakan betapa kami orang tuanya sangat menyayanginya dan menunggu kehadirannya di bumi. 

Related Posts

Posting Komentar